I WAYAN MERTAYASA PERTAHANKAN PRESTASI PKBM AMERTHA YULIA GANESHA DI TINGKAT NASIONAL SEBAGAI PENERIMA ANUGERAH AKSARA 2020


AMLAPURA, NusaBali
Dua pegiat keaksaraan dari Bali berhasil meraih penghargaan tingkat nasional ‘Anugerah Pegiat Aksara’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yakni I Wayan Mertayasa SPd MPd, 30, dan I Gusti Agung Ayu Putu Darmayanti SE MPd, 52.

Keduanya mendapat penghargaan berkat inovasinya dalam pemberantasan buta huruf. Penyerahan penghargaan ‘Anugerah Pegiat Aksara’ dari Kemendikbud untuk Wayan Mertayasa dan IGA Putu Darmayanti tersebut akan dilakukan di Jakarta, Senin (7/9) ini. Wayan Mertayasa adalah tokoh muda asal Banjar Kubakal, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem. Saat ini, sarjana pendidikan kelahiran 24 Juni 1990 terse-but menjadi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Amerta Yulia Ganesha di Banjar Kubakal, Desa Pempatan.
Sedangkan IGA Putu Darmayani adalah Srikandi asal Banjar Pangsan, Kecamatan Petang, Badung. Selama ini, perempuan kelahiran 22 Desember 1968 tersebut aktif di PKBM Yayasan Dharma Wangsa di kawasan Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Anugerah Pegiat Aksara itu sendiri dimenangkan IGA Putu Darmayanti berkat karyanya yang mengangkat tentang pemberantasan buta huruf pada anak-anak jalanan di Kota Denpasar, program yang dijalankannya di Yayasan Dharma Wangsa.

Khusus untuk penghargaan yang diterima Wayan Mertayasa adalah dari kategori apresiasi publikasi video keaksaraan. “Ada enam orang menerima penghargaan apresiasi publikasi video keaksaraan tingkat nasional, termasuk saya,” ungkap Mertayasa saat dihubungi NusaBali di Amlapura, Minggu (6/9).

Di kategori apresiasi publikasi video keaksaraan ini, kata Mertayasa, dirinya lolos dengan membuat video pembelajaran keaksaraan, kemudian videonya ditayangkan di medsos, lalu dikirim ke panitia. Syaratnya, video harus asli, durasi 3-8 menit, video dibuat dalam orientasi landscape, kualitas video minimal high definition, dan audio dalam bentuk stereo. Video keaksaraan itu lebih dulu mesti tayang di medsos dalam rentang waktu 9 September 2019 hingga 31 Juli 2020.

Selain harus karya asli, kata Mertayasa, materi video keaksaraan tersebut juga tidak boleh mengandung SARA, pornografi, politik, kekerasan, dan perundungan. Tema videonya adalah ‘Pendidikan Keaksaraan Menjawab Tantangan Zaman’.

Menurut Mertayasa, tujuan lomba ini agar mampu memberikan informasi, inspirasi, dan inovasi kepada masyarakat luas, sehingga dapat memberikan referensi model pembelajaran pendidikan keaksaraan bagi lembaga penyelenggara dalam upaya penuntasan buta aksara di Indonesia. “Darti ratusan video keaksaraan asal 34 provinsi se-Indonesia yang ambil bagian dalam lomba ini, akhirnya hanya 6 video dinyatakan meraih penghargaan tingkat nasional, termasuk video karya saya,” jelas tokoh berusia 30 tahun yang menempuh pendidikan S1 di Uniksha Sinngaraja (tamat 2012) dan S2 Pendidikan Agama Hindu (tamat 2019) ini.

Mertayasa merupakan satu-satunya pemenang video keaksaraan tingkat nasional asal Bali. Sedangkan 5 video keaksaraan lainnya, dari luar Bali, masing-masing hasil karya Fitri Fathia Paramitha Kinanti (dari Provinsi Gorontalo), Irham Yuda Permana (Lombok Barat, NTB), Juarita Manurung (Deli Serdang, Sumatra Utara), dan Nurjaya (Kabupaten Jayapura, Papua), dan karya PKBM Rumpin Inddas (Situbondo, Jawa Timur).

Sumertayasa mengaku bersyukur dan sekaligus bangga dapat penghargaan tingkat nasional. “Setelah meraih Anugerah Pegiat Aksara dari Kemendikbud ini, saya berharap mampu menginspirasi pembelajaran keaksaraan di Kabupaten Karangasem, sehingga pemberantasan buta aksara cepat tuntas,” jelas ayah dua anak dari pernikahannya dengan Ni Nyoman Yuliani SPd ini.

Sementara itu, Kadis Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Karangasem, I Gusti Ngurah Kartika, mengapresiasi inovasi yang dilakukan PKBM Amertha Yulia Ganesha di bawah pimpinan Wayan Mertayasa. “Dengan inovasi yang membuahkan penghargaan nasional ini, kita harapkan paling tidak pembelajaran keaksaraan di Karangasem termotivasi dan tambah maju,” harap IGN Kartika saat dikonfirmasi terpisah, Minggu kemarin. *k16

Program pemberantasan buta huruf dengan menyasar anak-anak jalan-an, sudah dilakukan I Gusti Agung Ayu Putu Darmayanti selama 13 tahun sejak 2007. Harapannya, dengan bisa baca tulis, dan hitung, anak-anak jalanan tidak gampang untuk dibodohi

DENPASAR, NusaBali

I Gusti Agung Ayu Putu Darmayanti SE MPd, 52, merupakan satu dari dua tokoh asal Bali yang meraih penghargaan ‘Anugerah Pegiat Aksara Tahun 2020’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Perempuan asal Banjar Pangsan, Desa/Kecamatan Petang, Badung ini berjaya berkat karyanya tentang pemberantasan buta huruf pada anak-anak jalanan di Kota Denpasar. Selama ini, dia pedulu dengan anak jalanan dan bantu mereka dapatkan pendidikan.

Selain I Gusti Agung Ayu Putu Darmayanti, tokoh Bali yang juga dapat penghargaan ‘Anugerah Pegiat Aksara Tahun 2020’ dari Kemendikbud adalah I Wayan Mertayasa SPd MPd, 30, asal Banjar Kubakal, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem. Wayan Mertayasa, yang kesehariannya menjadi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Amerta Yulia Ganesha di Banjar Kubakal, Desa Pempatan, sabet penghargaan untuk kategori apresiasi publikasi video keaksaraan.

IGA Putu Darmayanti menyebutkan, dalam karya tulisnya yang berbuah ‘Anugerah Pegiat Aksara Tahun 2020’, dia mengangkat tentang pem-berantasan buta huruf pada anak-anak jalanan di Kota Denpasar, yang merupakan program yang dijalankannya di Yayasan Dharma Wangsa. Yayasan Dharma Wangsa sendiri merupakan lembaga non formal PKBM, yang bermarkas di kawasan Desa Padangsambian Kelod, Kecamatan Denpasar Barat.

Sebenarnya, dalam karya tulisnya Darmayanti menjelaskan tentang pemberantasan buta huruf pada usia 15-55 tahun. Hanya saja, Darmayanti lebih cenderung terhadap pemberantasan buta huruf pada anak-anak jalanan.

Menurut Darmayanti, anak-anak jalanan sebagian besar memang bukan warga asli Kota Denpasar, melainkan pendatang. Mereka sebagian besar memang tidak sekolah sejak awal datang ke Denpasar. Anak-anak jalanan ini sebagian besar berasal dari Karangasem.

“Kalau anak jalanan, memang saya cari sendiri anak-anaknya. Lain dengan anak sudah gede, yang dengan kesadaran sendiri datang ke Yayasan Dharma Wangsa untuk belajar. Sebab, mereka sadar dengan pendidikan, kehidupannya bisa jadi lebih baik,” ungkap Darmayanti saat dihubungi NusaBali per telepon di Denpasar, Minggu (6/9) malam.

Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 Jurusan Pendidikan Undiksha Singaraja ini menyebutkan, program menyasar anak-anak jalanan telah dilakukannya selama 13 tahun sejak 2007. Awalnya, karena Darmayanti khawatir adanya isu perdagangan anak. Nah, salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan memberantas buta huruf di kalangan anak-anak jalanan. Dengan cara ini, dia berharap anak-anak tidak gampang untuk dibodohi.

“Kalau mereka (anak-anak) sudah bisa baca, tulis, hitung, mereka bisa lebih percaya diri dan mengangkat kehidupannya nanti. Kalau sudah bisa baca, tulis, hitung kan tidak ada yang membohongi dan membodohi. Sehingga tidak sampai terjadi perdagangan anak itu,” papar perempuan berusia 52 tahun kelahiran Badung, 22 Desember 1968 ini.

Sejak tahun 2007 hingga saat ini, menurut Darmayanti, tingkat kesadaran anak-anak terhadap pemberantasan buta huruf semakin meningkat. Anak-anak yang sebelumnya tidak sekolah, menjadi ingin mendapatkan pendidikan yang setara.

Hanya saja, kata Darmayanti, menyasar anak-anak usia SD masih sulit, karena mereka belum paham sepenuhnya akan pentingnya pendidikan. Berbeda dengan mereka yang sudah berusia dewasa, lebih paham arti pendidikan untuk peningkatan kehidupannya kelak.

“Kesulitan terbesar waktu dulu sih masih kejar-kejaran sama mereka. Yang masih anak-anak kadang suka datang dan pergi sesuka hati mereka. Tapi, sekarang sudah ada kesadaran, setelah mereka melihat kakak-kakaknya yang sudah tamat dan dapat ijazah, kemudian mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus. Sekarang banyak yang sudah kerja di restoran, hotel, spa, vila, dari semula jadi anak jalanan,” beber anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan I Gusti Ngurah Made Alit dan Ida Ayu Putu Serongga ini.

Sementara itu, karya tulisnya yang akhirnya berbuah penghargaan ‘Anugerah Pegiat Aksara Tahun 2020’ dari Kemendikbud, menurut Darmayanti, awalnya dinyatakan masuk nominasi setelah melewati beberapa proses seleksi. Tahap terakhir adalah seleksi berupa wawancara secara online lewat Webinar. Ternyata, Darmayanti dinyatakan keluar sebagai pemenang lomba karya inovasi pemberantasan buta aksara, setelah menyisihkan ratusan pesaingnya dari berbagai provinsi se-Indonesia.

Bagi Darmayanti, penghargaan dari pemerintah adalah sebuah pengakuan bahwa apa yang dilakukannya adalah kegiatan resmi. Meski demikian, perhargaan yang utama adalah keberhasilan mendidik masyarakat yang membutuhkan pendidikan hingga mendapatkan ijazah.

“Pencapaian ini bukan akhir dari perjuangan. Yang utama bagi saya keberhasilan anak-anak didik. Kalau mereka sudah mendapat ijazah, itu adalah keberhasilan. Tapi, di sisi lain, pengakuan dari pemerintah itu perlu agar legalitas kita juga diketahui. Karena seringkali lembaga non formal dipandang sebelah mata oleh masyarakat,” tandas perempuan yang kini masih aktif bekerja di Badan Akreditasi Nasional Provinsi Bali ini.

IGA Ayu Putu Darmayanti sendiri sebelumnya sudah meraih sederet prestasi membanggakan, sebelum dapat ‘Anugerah Pegiat Aksara Tahun 2020’ dari Kemendikbud. Ibu dua anak dari pernikahannya dengan Ida Bagus Sujana ini, antara lain, sandang predikat sebagai Tutor Keaksaraan Nasional (2009-2010), Tutor Paket B Tingkat Nasional (2012), Tutor Berdedikasi Tingkat Nasional (2014), dan GTK PAUD Dikmas Tingkat Nasional (2016). *ind




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH RAJA KARANGASEM

CONTOH PROPOSAL PENGAJUAN PROGRAM TAHUN 2019 (PKBM AMERTHA YULIA GANESHA)

GATRA ARTIS BALI : TISON KEMBALI DENGAN JAJE SUMPING